SELAMAT DATANG! SEMOGA PERSEMBAHAN KAMI DALAM BLOG INI BERMANFAAT! JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR PADA TULISAN KAMI! TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG!

Friday, November 6, 2015

Penilaian Pembelajaran Bahasa



(Anwar Al-Bimary)

A. Hakikat dan Fungsi Penilaian

Penilaian berurusan dengan data kuantitatif dan kualitatif, sedang pengukuran yang hanya bagian penilaian itu selalu berhubungan dengan data kuantitatif. Penilaian memerlukan data kuantitatif dari pengukuran. Sebaliknya, pengukuran juga sangat terikat pada penilaian khusus yang berkaitan dengan masalah tujuan dan kriteria yang dipergunakan.
Penilaian adalah proses memperoleh dan mempergunakan infomasi untuk membuat pertimbangan yang dipergunakan sebagai dasar pengambilan informasi. Dengan demikian, terdapat tiga komponen penting penilaian, yaitu informasi, pertimbangan, dan keputusan.
Informasi memberikan data-data (baik kuantitatif maupun kualita­tif) yang berguna untuk pembuatan pertimbangan. Pertimbangan dimungkinkan tepat jika informasi yang diperoleh dan interpretasi terhadapnya juga tepat. Pertimbangan adalah taksiran kondisi yang ada kini dan prediksi keadaan pada masa mendatang. Keputusan yang diambil berdasarkan kedua komponen tersebut adalah pilihan di antara berbagai arah tindakan atau sejumlah alternatif yang ada.
Langkah-langkah penilaian menurut Buchori (1972) adalah per­siapan (berisi penetapan tujuan, aspek yang dinilai, metode, penyusunan alat, penetapan kriteria, dan frekuensi penilaian), pengumpulan data, pengolahan data hasil penilaian, penafsiran, dan penggunaan hasil.
Langkah-langkah penilaian menurut Ten Brink (1974) terdiri dari tahap persiapan yang berupa pemerincian pertimbangan dan keputusan yang akan dibuat, informasi yang diperlukan dan pe­manfaatan yang ada, penentuan waktu dan cara, dan penyusunan alat, tahap pengumpulan data yang diteruskan analisis terhadapnya, dan tahap penilaian yang berupa pembuatan pertimbangan dan keputusan, dan diteruskan dengan pembuatan laporan hasil penilaian.
Tujuan dan fungsi penilaian antara lain adalah untuk mengeta­hui kadar pencapaian tujuan, memberikan sifat objektivitas penga­matan tingkah-laku hasil belajar siswa, mengetahui kemampuan siswa dalam hal-hal tertentu, menentukan layak tidaknya seorang siswa dinyatakan naik kelas atau lulus, dan untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan belajar mengajar yang dilakukan.
Pengukuran dilakukan hanya dengan mengambil sample tentang suatu hal yang akan diketahui karena tak mungkin mengukur se­mua kemampuan siswa, dan siswa sendiri tak mungkin menunjuk­kan semua kemampuannya.

B. Tujuan Pembelajaran dan Penilaian

Tujuan memberi arah dan pegangan yang jelas, memaksa kita untuk berpijak pada kenyataan dan berpikir secara konkret. Tu­juan bagi guru akan membantu untuk memilih bahan, metode, teknik, dan alat evaluasi, sedang bagi murid, la dapat dimanfaat­kan sebagai pengorganisator dan kerangka kerja untuk mem­peroleh ilmu.
Tujuan pembelajaran dan keluaran hasil belajar adalah dua hal yang erat berkaitan. Tujuan menyarankan bentuk-bentuk tertentu ke­luaran belajar, sebaliknya, tingkah laku keluaran belajar merupa­kan realisasi pencapaian tujuan.
Keluaran belajar oleh Gagne dibedakan dalam bentuk keteram­pilan intelektual (yang berisi kemampuan membedakan, konsep, aturan, dan aturan tingkat tinggi), strategi kognitif, informasi ver­bal, keterampilan motor, dan sikap. Pembagian Bloom yang terkenal dengan sebutan taksonomi Bloom yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotor banyak diikuti orang, termasuk kurikulum di Indonesia.
Proses identifikasi tujuan khusus merupakan proses analisis dan identifikasi keluaran belajar. Tujuan khusus (behavioral objec­tives) menyaran pada tingkah laku keluaran belajar yang ope­rasional, artinya mudah diamati diukur dengan alat penilaian.
Tiap tujuan khusus harus mengandung unsur sasaran, tingkah laku yang diharapkan, kondisi sewaktu dinilai, dan kriteria keberhasil­an. Tidak seperti halnya tujuan umum, tujuan khusus mempunyai cakupan bahan yang terbatas.
Penyusunan alat penilaian harus mendasarkan diri pada tujuan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Alat penilaian di­katakan memenuhi kriteria kelayakan jika dapat mengukur ke­luaran belajar yang konsisten dengan tujuan. Tujuan akan menen­tukan tingkah laku guru dan murid dan bentuk keluaran belajar yang terukur.
Bahan pembelajaran merupakan pengantara tujuan dan alat penilai­an, merupakan sarana tercapainya tujuan dan sumber penyusunan alat penilaian. Karena bahan memegang peranan penting, ia perlu dideskripsikan secara terinci karena hal itu juga dapat dimanfaat­kan untuk menguji kesahihan isi alat penilaian itu sendiri.
Pemilihan jenis alat penilaian harus disesuaikan dengan tingkah laku keluaran belajar yang ditunjuk oleh tujuan, baik itu yang berkaitan dengan kemampuan kognitif, tingkah laku efektif, maupun psikomotor. Jenis penilaian mungkin berupa lisan atau ter­tulis, observasi, wawancara, perbuatan, dan sebagainya.
Tingkatan penilaian terutama dikaitkan dengan aspek kognitif yang terdiri dari tingkatan pengetahuan (ingatan), pernahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kegiatan penilaian umumnya hanya ditekankan pada (sampai dengan) tingkatan ingatan dan pernahaman saja. Aktivitas kognitif yang lebih tinggi tingkatannya dan lebih penting dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan justru sering tidak nampak dalam penilaian.
Penyusunan alat penilaian seharusnya mencakup keenam tingkat­an aspek kognitif itu, tetapi dengan memperhatikan perimbangan bobotnya, yaitu sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Semakin tinggi tingkat kemampuan kognitif siswa, se­makin tinggi pula penilaian daya kognitif yang diberikan.
Tabel spesifikasi atau kisi-kisi berisi perincian pokok bahasan yang diteskan, tingkat kemampuan kognitif yang diukur, perim­bangan dan jumlah soal per tingkatan aspek kognitif dan pokok bahasan (per sel), dan persentase atau jumlah soal pertingkatan kognitif, per pokok bahasan, dan seluruh butir soal.
Pengisian jumlah atau bobot tiap sel dengan mempertimbangkan tingkatan aspek kognitif yang diungkap dan keadaan pokok ba­hasan. Pertimbangan pertama berkaitan dengan aspek kejiwaan siswa tentang tingkat perkembangan kognitifnya, yaitu yang akan dipakai untuk menentukan bobot per tingkatan aspek kognitif. Pertimbangan kedua mencakup peranan dan cakupan bahan yang dipakai untuk menentukan bobot tiap pokok bahasan.
Tabel spesifikasi berguna untuk memberi rambu-rambu kepada penyusun alat tes agar tidak hanya memfokuskan diri pada satu atau beberapa pokok bahasan dan tingkatan-tingkatan aspek kognitif sederhana saja. Di samping itu, ia juga akan memberi petunjuk sel-sel mana saja yang telah dibuat alat tesnya dan mana yang belum atau masih kurang.

C. Alat Penilaian

Ada dua macama alat penilaian yaitu, teknik tes dan teknik nontes. Baik teknik tes maupun nontes keduanya dapat di­manfaatkan secara efektif jika dipergunakan secara tepat, dan itu tergantung dari tujuan penilaian.
Teknik nontes misalnya berupa kegiatan kuesener, wawancara, pengamatan, dan pengukuran kecenderungan tertentu dengan mempergunakan skala. Skala merupakan suatu kesatuan sebagai penanda unit-unit yang bersifat angka yang disusun secara berjen­jang, tiap jenjang melambangkan sikap dan keyakinan tertentu.
Teknik wawancara baik secara bebas maupun terpimpin, dalam kaitannya dengan penilaian kebahasaan, dapat dipergunakan juga untuk menilai keterampilan, kelancaran, dan kefasihan berbicara siswa dalam bahasa yang diajarkan.
Kegiatan pengamatan baik yang berstruktur maupun tak berstruk­tur dapat dimanfaatkan untuk menilai tingkah laku hasil belajar bahasa siswa yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari. Tingkah laku dalam situasi seperti itu bersifat wajar, tidak dibuat-buat, dan lebih mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Tes adalah seperangkat tugas atau pertanyaan yang dipergunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi, kemam­puan, atau bakat yang dimiliki seseorang atau kelompok. Dan segi jawaban siswa, tes dapat dibedakan ke dalam tes perbuatan dan tes verbal.
Tes buatan guru disusun berdasarkan tujuan-tujuan khusus dan deskripsi bahan yang disusun guru untuk mengukur keberhasilan siswa mencapai tujuan, jadi yang terpenting dapat dipertanggung­jawabkan dari jenis kesahihan isi. Tes buatan guru biasanya ting­kat ketepercayaannya rendah atau tak diketahui.
Tes standar disusun berdasarkan tujuan-tujuan umum seperti yang terdapat dalam kurikulum. Oleh karena telah mengalami beberapa kali uji coba dan revisi, tes standar dapat dipertanggungjawabkan dari segi kelayakan, kesahihan, ketepercayaan, dan ketertafsiran. Tes standar berguna untuk melengkapi informasi tertentu tingkat hasil belajar siswa, membuat perbandingan prestasi siswa, dan berfungsi diagnostik.
Tes kemampuan awal dapat dibedakan menjadi pretes, yang dimak­sudkan untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum mengalami proses belajar, tes prasyarat, yang dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan tertentu disyaratkan untuk masuk pendidikan ter­tentu, dan tes penempatan yang dimaksudkan untuk menempatkan siswa sesuai dengan kemampuannya.
Tes diagnostik dimaksudkan untuk menemukan kelemahan-kele­mahan siswa dalam hal tertentu untuk kemudian diremidi. Tes for­matif dimaksudkan untuk mengukur kadar keberhasilan siswa mencapai tujuan yaitu berkaitan dengan pokok bahasan yang baru saja diselesaikan dalam proses belajar mengajar. Bagi guru tes formatif dapat untuk menilai efektivitas pengajaran, sedang bagi siswa dapat berfungsi sebagai penguat.
Tes sumatif dimaksudkan untuk mengukur kadar pencapaian siswa terhadap tujuan umum, yang meliputi seluruh bahan yang dipro­gramkan pada periode tertentu. Informasi tes sumatif dipergu­nakan untuk menentukan prestasi siswa, naik-tidak dan atau lulus ­tidak-nya seorang siswa, serta untuk membuat laporan kepada pi­hak tertentu.
Tes esai merupakan tes proses berpikir yang melibatkan aktivitas kognitif tingkat tinggi, menuntut kemampuan siswa untuk mene­rapkan pengetahuan, menganalisis, menghubungkan konsep-kon­sep, menilai, dan memecahkan masalah.
Kelemahan pokok tes esai adalah rendahnya kadar kesahihan dan ketepercayaan akibat terbatasnya sampel bahan, jawaban siswa yaitu bervariasi, dan penilaian yang bersifat subjektif. Untuk me­ngurangi sifat subjektif dalam penilaian, perlu ditentukan kriteria penilaian yang menyangkut isi, organisasi, proses, kesimpulan dan alasan dengan bobot yang tidak harus sama.
Tes objektif menghendaki hanya satu jawaban yang benar, maka penilaiannya dapat secara objektif, cepat, dan dapat dipercaya. Karena jumlah soal relatif banyak, tes objektif dapat mencakup ba­han secara lebih menyeluruh.Tes objektif yang baik tidak mudah disusun, memerlukan waktu lama, dan ada kecenderungan guru hanya terpusat pada pokok ba­hasan dan tingkatan aspek kognitif tertentu. Dalam mengerjakan­nya, siswa dapat bersifat untung-untungan.
Tes objektif dapat berupa benar-salah, pilihan ganda, melengkapi, dan penjodohan. Tes benar-salah bisa dipakai karena hasil belajar yang berupa penguasaan pengetahuan verbal yang dinyatakan da­lam bentuk proposisi dapat dinyatakan secara benar atau salah. Tes pilihan ganda merupakan tes benar-salah dengan pernyataan salah lebih banyak. Tes isian adalah tes pilihan ganda tapi siswa mengisi sendiri pilihan yang benar, sedang penjodohan semua pernyataan yang benar ditunjukan sekaligus.
Tes objektif jenis benar-salah dan pilihan ganda dapat diskor de­ngan rumus tanpa tebakan dan tebakan (yaitu memberlakukan se­macam denda), sedang jenis isian dan penjodohan umumnya di­skor dengan tanpa tebakan.
Tes yang baik adalah yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi kelayakan (appropriateness), kesahihan (validity), keteper­cayaan (reliability), efektivitas butir soal, dan kepraktisan (prac­ticality). Kelayakan tes berkaitan dengan masalah apakah suatu tes dapat mengukur keluaran hasil belajar yang konsisten dengan tujuan; apakah semua tujuan telah mempunyai alat ukur yang sesuai; apakah jumlah butir soal per tujuan telah mencerminkan kadar pentingnya tujuan; dan apakah semua butir soal telah mengacu ke tujuan tertentu?
Butir-butir tes harus mencerminkan bahwa pelajaran yang dia­jarkan. Semua bahan yang diajarkan perlu diambil tesnya, dan sebaliknya, tes harus hanya terbatas pada bahan yang diajarkan. Untuk memudahkan pengecekan hal itu, pembuatan soal hendak­nya mendasarkan diri pada tabel spesifikasi. Kelayakan tes dalam hal ini, merupakan salah satu jenis kesahihan, kesahihan isi.
Kesahihan tes, tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur apa yang akan diukur. Tes yang sahih akan da­pat membedakan siswa yang memang berkemampuan yang lebih baik daripada yang sebaliknya. Kesahihan tes yang baik akan mengungkap semua tingkatan aspek kognitif, dan tidak hanya terbatas pada beberapa tingkatan kognitif yang sederhana saja.
Kesahihan tes dibedakan berdasarkan analisis rasional, kesahih­an isi dan konstruk atau konsep, dan berdasarkan data empirik, kesahihan serentak dan ramalan, serta kesahihan kriteria atau ukuran.
Kesahihan isi menunjuk pada pengertian apakah suatu tes mem­punyai kesejajaran dengan tujuan deskripsi bahan yang dia­jarkan. Tujuan dan bahan biasanya dikembalikan kepada kuriku­lum, maka kesahihan isi disebut juga sebagai kesahihan kuri­kuler. Di pihak lain, kesahihan konstruk menunjuk pada penger­tian apakah tes yang disusun telah sesuai dengan konstruk ilmu bidang studi yang diteskan.
Kesahihan ukuran mempermasalahkan seberapa jauh siswa yang sudah diajar dalam bidang tertentu mempunyai kemampuan yang tinggi daripada yang belum diajar. Jika subjeknya sama, membandingkan hasil belajar itu dapat mendasarkan diri pada hasil pretes dan postes.
Kesahihan sejalan menunjuk pada pengertian apakah tingkat ke­mampuan seseorang pada suatu bidang yang diteskan sesuai de­ngan skor bidang-bidang lain yang mempunyai persamaan ka­rakteristik. Di pihak lain, kesahihan ramalan mempermasalahkan apakah sebuah tes mempunyai kemampuan untuk meramalkan prestasi yang akan dicapai kemudian. Pengujian terhadap kedua jenis kesahihan ini dilakukan dengan teknik korelasi.
Pengujian kesahihan dalam berbagai jenis di atas merupakan pengujian kesahihan secara keseluruhan. Pengujian tingkat kesa­hihan dapat dilakukan secara per butir soal, yaitu dengan meng­korelasikan skor-skor tiap butir tes dengan skor keseluruhan. Tes yang kesahihannya tinggi, biasanya tinggi pula kesahihan butir­butirnya, walau mungkin terdapat beberapa butir tes yang kurang sahih.
Ketepercayaan tes menunjuk pada pengertian apakah suatu tes dapat mengukur secara konsisten sesuatu yang akan diukur dari waktu ke waktu. Konsisten berarti (i) tes dapat memberikan hasil yang relatif tetap terhadap sesuatu yang diukur, (ii) jawaban siswa terhadap butir-butir tes relatif tetap, (iii) hasil tes diperiksa siapa pun menghasilkan skor yang kurang lebih sama.
Hasil pengukuran tidak hanya mencerminkan berapa banyak siswa berhasil dalam belajar, melainkan juga bagaimana ke­akuratan tes itu sendiri. Keakuratan tes akan mempengaruhi skor yang diperoleh siswa, maka skor itu tidak akan secara sempurna mencerminkan kemampuan yang sebenarnya.
Prosedur pengujian ketepercayaan tes adalah dengan melakukan tes ulang uji, teknik belah dua, mempergunakan rumus Kuder­ Richardson 20 dan 21, koefisien alpha, dan reliabilitas bentuk paralel.
Teknik ulang uji dilakukan dengan memberikan tes dua kali de­ngan tes yang sama, dan hasilnya dikorelasikan. Tinggi ren­dahnya koefisien korelasi menunjukkan tinggi rendahnya tingkat ketepercayaan tes. Teknik ini mempunyai beberapa kelemahan, misalnya sulit menghilangkan pengaruh jawaban pertama.
Pengujian dengan teknik belah dua dilakukan dengan membagi tes ke dalam tes bernomor ganjil dan genap, yang kemudian keduanya dikorelasikan. Koefisien korelasi yang diperoleh baru menunjukkan reliabilitas separuh tes, maka kemudian diperguna­kan rumus Spearman-Brown untuk mencari reliabilitas keselu­ruhan tes.
Pengukuran dengan mempergunakan rumus K - R 20 dan 21 dapat mengatasi kelemahan yang ada pada teknik belah dua. Ru­mus K - R 20 akan memberikan indeks yang lebih besar daripada K - R 21, tetapi penghitungannya lebih rumit. Penyusunan rumus K - R 21 lebih disarankan karena dapat mengukur secara lebih cermat. Koefisien alpha dipakai untuk menguji reliabilitas tes (angket) yang jawabannya berskala.
Pengujian reliabilitas tes dengan teknik bentuk paralel dilakukan dengan menyediakan dua perangkat tes yang bersifat paralel atau ekuivalen. Setelah kedua perangkat tes itu dicobakan, hasilnya dikorelasikan. Untuk meningkatkan keterpercayaan butir tes, hendaknya dibuat butir-butir tes yang secukupnya. Butir tes yang semakin banyak akan semakin mempertinggi tingkat ketepercayaan tes, walau se­telah dalam jumlah tertentu peningkatan itu kecil.
Peningkatan ketepercayaan tes juga dilakukan dengan memilih butir-butir soal yang indeks tingkat kesulitan dan daya bedanya memenuhi persyaratan. Untuk keperluan ini, kita perlu melaku­kan analisis butir soal. Bahasa yang dipergunakan dalam tes harus jelas, mudah dipa­hami, tidak bersifat ambigu, dan tidak membingungkan, agar ti­dak menimbulkan kesalahpahaman.
Kondisi pelaksanaan tes harus dikontrol sebaik-baiknya agar hal itu tidak mempengaruhi penampilan siswa. Dalam memeriksa pekerjaan siswa, kita harus menghindari sifat subjektivitas diri, terutama dalam tes esai. Oleh karena itu, sebelum memeriksa pe­kerjaan siswa hendaknya membuat pedoman penilaian.
Analisis butir adalah analisis hubungan antara skor-skor butir soal dengan skor keseluruhan, membandingkan jawaban siswa terhadap suatu butir soal dengan jawaban terhadap keseluruhan tes. Tujuan analisis adalah membuat tiap butir tes konsisten de­ngan keseluruhan tes dan menilai efektivitas tes sebagai alat pengukuran.
Analisis butir dilakukan untuk mencari indeks tingkat kesulitan, daya beda, dan efektivitas distraktor. Butir soal yang baik adalah yang tidak terlalu sukar atau terlalu mudah yang indeksnya ber­kisar antara 0,15 sampai dengan 0,85, yang mampu membedakan antara siswa kelompok tinggi dan rendah yang indeks daya be­danya paling tidak sebesar 0,25 serta semua distraktor yang di­sediakan dipilih.
Penghitungan indeks tingkat kesulitan dan daya beda dapat di­lakukan dengan mempergunakan tabel analisis butir soal. Untuk maksud ini, kita harus mencapai proporsi jawaban betul kelom­pok tinggi dan kelompok rendah, baru kemudian mengkonsulta­sikannya kepada tabel. Butir soal yang indeks tingkat kesulitan dan daya bedanya tidak memenuhi persyaratan disarankan untuk direvisi.
Distraktor seharusnya dipilih oleh siswa kelompok rendah secara lebih banyak. Jika terjadi sebaliknya, kelompok tinggi yang lebih banyak memilih, atau ada distraktor yang tak dipilih, distraktor yang bersangkutan disarankan untuk direvisi. Tingkat ketepercayaan tes esai dihitung dengan rumus alpha, se­dang indeks tingkat kesulitan serta indeks daya bedanya dicari dengan mempergunakan rumus yang berbeda dengan tes objek­tif.
Sebuah tes yang baik di samping layak, sahih, dan tepercaya, juga harus memenuhi kriteria kepraktisan. Kriteria kepraktisan dapat dilihat dari segi keekonomisan, kemudahan pelaksanaan, penskoran, dan penafsiran.

Monday, July 6, 2015

CARA GURU DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA


Secara ekstrinsik

a.       Memberi Angka
Angka dimaksud adalah sebagai simbol atau nilai dari hasil aktivitas belajar anak didik. Angka atau nilai yang baik mempunyai potensi yang besar untuk memberikan motivasi kepada anak didik lainnya. Namun, guru harus menyadari bahwa angka/nilai bukanlah merupakan hasil belajar yang sejati, hasil belajar yang bermakna, karena hasil belajar seperti itu lebih menyentuh aspek kognitif. Bisa saja nilai itu bertentengan dengan efektif anak didik. Untuk itu guru perlu memberikan angka/nilai yang menyentuh aspek efektif dan keterampilan yang diperlihatkan anak didik dalam pergaulan/kehidupan sehari-hari. Penilaian harus juga diarahkan kepadda aspek kepribadian anak didik dengan cara mengamati kehidupan anak didik di sekolah, tidak hanya semata-mata berpedoman pada hasil ulangan di kelas, baik dalam bentuk formatif atau sumatif.

b.      Hadiah
Hadiah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai penghargaan atau kenang-kenangan/cenderamata. Dalam dunia pendidikan, hadiah bisa dijadikan sebagai alat motivasi. Hadiah dapat diberikan kepada anak didik yang berprestasi, rangking satu, dua tau tiga dari anak didik lainnya. Dalam pendidikan modern, anak didik yang berprestasi tinggi memperoleh predikat sebagai anak didik teladan dan untuk perguruan tinggi/universitas disebut sebagai mahasiswa teladan.sebagai penghargaan atas prestasi mereka dalam belajar, uang beasiswa supersemar pun mereka terima setiap bulan dengan jumlah dan jangka waktu yang ditentukan. Hadiah berupa uang beasiswa supersemar diberikan adalah untuk memotivasi anak didik/mahasiswa agar senantiasa mempertahankan prestasi belajar selama berstudi.

c.       Kompetisi
Kompetisi adalah persaingan, dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk medorong anak didik agar mereka bergairah belajar. Bila iklim belajar yang kondusif terbentuk, maka setiap anak didik terlihat dalam kompetisi untuk menguasai bahan pelajarran yang diberikan. Selanjutnya, setiap anak didik sebagian individu melibatkan diri mereka masing-masing kedalam aktivitas belajar.

d.      Memberi Ulangan
Ulangan bisa dijadikan sebagai motivasi, anak didik biasanya mempersiapkan diri dengan belajar jauh-jauh hari untuk menghadapi ulangan. Oleh karena itu, ulangan merupakan strategi yang cukup baik untuk memotivasi anak didik agar lebih giat belajar.

e.       Hukuman
Meski hukuman sebagai reinforcement yang negatif, tetapi bila dilakukan dengan tepat dan bijak akan merupakan alat motivasi yang baik dan efiktif. Hukuman akan merupakan alat motivasi bila dilakukan dengan pendekatan edukatif, bukan karena dendam. Pedekatan edukatif dimaksud di sini sebagai hukuman yang mendidik dan bertujuan memperbaiki sikap perbuatan anak didik yang dianggap salah. Sehingga dengan hukuman yang diberikan itu anak didik tidak mengulangi kesalahan atau pelanggaran. Minimal mengurangi frekuensi pelanggaran.

Secara Intrinsik
a.       Ego-Involvement
Menumbuhkan kesadaran kepada anak didik agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai suatu tantangan sehingga beklerja keras dengan mempertahankan harga diri, adalah sebagai salah ssatu bentuk motivasi yang cukup penting. Seseorang akan berusaha dengan segenap tenaga untuk mencapai prestasi yang baik dengan menjaga harga dirinya. Penyelesaian tugas dengan baik adalah simbol kebanggaan dan harga diri. Begitu juga dengan anak didik sebagai subjek belajar. Anak didik akan belajar dengan keras bisa jadi karena harga dirinya.
b.      Mengatahui Hasil
Mengatahui hasil belajar bisa dijadikan sebagai alat motivasi. Bagi anak didik yang menyadari betapa besarnya sebuah nilai prestasi belajar akan meningkatkan intensitas belajarnya guna mendapatkan prestasi belajar yang melebihi prestasi belajar diketahui sebelumnya. Prestasi belajar yang rendah menjadikan anak didik giat belajar untuk memperbaikinya. Sikap seperti itu bisa terjadi bila anak didik merasa rugi mendapat prestasi belajar yang tidak sesuai dengan harapan.
c.       Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik.
Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siwa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.
d.      Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar
Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik (menyentuh aspek psikologis).
e.    Guru mencontohkan sikap yang baik kepada siswa baik lewat prestasi akademik maupun lewat aspek moralitas. Sehinga, siswa tanpa didorong pun bisa belajar dan mencontohi secara langsung aspek ketokohan yang ditampilkan oleh sang guru.

Saturday, April 11, 2015

ANALISIS WACANA KRITIS

Analisis wacana kritis (sering disingkat AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan cultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Yang membingungkan, label “analisis wacana kritis” digunakan dua cara yang berbeda: Norman Fairclough (1995a,1995b) menggunakannya untuk menguraikan pendekatan yang telah dia kembangkan dan sebagai label yang diberikan kepada gerakan lebih luas dalam analisis wacana yang beberapa pendekatannya, termasuk pendekatan yang dikemukakannya, merupakan bagian dari gerakan itu (Fairclough dan Wodak 1997). Gerakan yang luas ini merupakan entitas yang agak longgar dan tidak ada konsensus bersama mengenai milik siapa gerakan tersebut. Kendati pendekatan Fairclough terdiri atas sederet premis filsafat, metode teoretis, dan teknik-teknik khusus analisis linguistik, gerakan analisis wacana kritis terdiri atas beberapa pendekatan yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Di bawah ini kami kemukakan secara singkat beberapa unsur utama yang sama-sama dimiliki semua pendekatan itu. Selanjutnya, kami sajikan pendekatan Fairclough, karena menurut hemat kami dalam gerakan analisis wacana kritis, pendekatan itu mewakili metode dan teori yang paling cepat perkembangannya di bidang komunikasi, budaya, dan masyarakat.


Di antara pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum. Ciri-ciri umum itulah yang memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan tersebut ke dalam gerakan yang sama. Dalam uraian berikut kami kemukakan tinjauan Fairclough dan Wodak (1997:271ff).

1. Sifat Struktur dan Proses Cultural dan Sosial Merupakan Sebagian Linguistik-Kewacanaan

Praktik-praktik kewacanaan – tempat dihasilkan (diciptakan) dan dikonsumsi (diterima dan diinterpretasikannya) teks – dipandang sebagai penting praktik sosial yang memberikan kontribusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup hubungan-hubungan dan identitas-identitas sosial. Sebagian terbentuk melalui praktik-praktik kewacanaan dalam kehidupan sehari-hari (proses pemproduksian dan pengonsumsian teks). Di situlah terjadi perubahan dan reproduksi cultural dan sosial. Dengan demikian, sebagian fenomena kemasyarakatan tidaklah bersifat linguistik-kewacanaan.

Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik-kewacanaan fenomena sosial dan cultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini. Penelitian di bidang wacana kritis telah mencakup bidang-bidang seperti analisis organisasi (mis. Mumby dan Clair 1997), pedagogi (Chouliaraki 1998), rasisme dan komunikasi massa (Richardson 1995a, 1995b, 1998, 2000).

Wacana memberikan tuntunan kepada tidak hanya pada bahasa tulis dan bahasa tutur namun juga pencitraan visual. Para ahli menerima pendapat bahwa analisis teks yang terdiri dari pencitraan visual harus mempertimbangkan karakteristik khusus semiotik visual dan hubungna antara bahasa dan pencitraan. Namun, dalam analisis wacana kritis (seperti dalam analisis wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar seolah merupakan teks linguistik. Ada perkecualiannya yakni semiotik sosial (mis. Hodge dan Kress 1998; Kress dan van Leeuwen 1996, 2001) yang merupakan usaha untuk mengembangkan teori dan metode analisis teks multi modal – yakni teks yang menggunakan sistem-sistem semiotik yang berbeda seperti bahasa tulis, pencitraan visual dan/atau bunyi.

2. Wacana itu Tersusun dan Bersifat Konstitutif

Bagi analisis wacana kritis, wacana merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial lain. Sebagai praktik sosial, wacana berada dalam hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial namun merefleksikan pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial tersebut. Ketika Fairclough menganalisis bagaimana praktik kewacanaan dalam media ambil bagian dalam pembentukan bentuk-bentuk baru politik, dia juga mempertimbangkan bahwa praktik-praktik kewacanaan dipengaruhi oleh kekuatan kemasyarakatan yang tidak memiliki sifat kewacanaan tunggal (mis. struktur sistem politik dan struktur kelembagaan media). Konsepsi “wacana” membedakan pendekatan ini dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat pos-strukturalis, seperti teori wacana Laclau dan Mouffe, bahasa sebagai wacana merupakan bentuk tindakan (cf. Austin 19620 tempat yang digunakan orang-orang untuk mengubah dunia dan bentuk tindakan yang didasarkan pada situasi soaial dan historis dan memiliki hubungan dialektik dengan aspek-aspek lain dimensi sosial.

Sebagai contoh, Fairclough (1992b) menyatakan bagaimana struktur sosial memengaruhi praktik-praktik kewacanaan. Hubungan antara orangtua dan anak sebagian tersusun secara kewacanaan, demikian kata Fairclough, namun sekaligus, keluarga merupakan suatu lembaga yang memiliki praktik-praktik konkret, identitas dan hubungan-hubungan yang telah ada sebelumnya. Praktik, hubungan, dan identiras tersebut aslinya tersusun secara kewacanaan, akan tetapi telah mengendap dalam lembaga-lembaga dan praktik-praktik nonkewacanaan. Efek konstitutif wacana bekerja bersama praktik-praktik  lain seperti distribusi tugas rumah tangga. Selanjutnya, struktur sosial memainkan peran mandiri dalam upaya membentuk dan melingkupi praktik kewacanaan dalam keluarga:

Susunan kewacanaan masyarakat tidak berasal dari permainan bebas ide-ide yang ada di benak orang-orang, melainkan berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada struktur sosial material yang rill (Fairclough 1992b:66)

Di sini Fairclough menyatakan bahwa jika wacana hanya dipandang bersifat konstitutif, pernyataan ini selaaras dengan  pernyataan bahwa entitas sosial hanya berasal dari dalam benak orang-orang. Namun sebagaimana yang kita lihat, ada ketidaksepakatan di antara para teoretisi mengenai apakah pandangan wacana itu sangat penting bagi bentuk idealism ini. Misalnya, Laclau dan Mouffe menyanggah dengan keras bahwa menyalahkan idealism dengan dalih bahwa konsepsi wacana sebagai sesuatu yang bersifat kontitutif tidaklah menyiratkan bahwa objek fisik itu tidak ada, melainkan bahwa objek fisik itu mendapatkan makna hanya melalui wacana.

3. Penggunaan Bahasa Hendaknya Dianalisis Secara Empiris dalam Konteks Sosialnya

Analisis Laclau dan Mouffe menggarap analisis tekstual linguistik yang konkret atas penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Keadaan ini berbeda dengan teori wacana Laclau dan Mouffe yang tidak melaksanakan kajian empiris dan sistematis penggunaan bahasa dan berbeda dengan psikologi kewacanaan yang melakukan kajian retoris, namun bukan kajian linguistik penggunaan bahasa.

4. Fungsi Wacana Secara Ideologis

Dalam analisis Laclau dan Mouffe, dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara kelompok-kelompok sosial – misalnya , antara kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, kelompok minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek ideologis.

Berlawanan dengan teoretisi wacana, termasuk Laclau dan Mouffe dan Foucault, analisis Laclau dan Mouffe dalam hal ini tidak sepenuhnya menyimpang dari tradisi Marxist. Sebagian pendekatan analisis wacana kritis menganggap pandangan kekuasaan Foucauldian sebagai kekuatan yang mampu menciptakan subjek dengan agen – yakni, sebagai kekuatan produktif – bukannya sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang dipaksakan kepada orang lain. Tapi sekaligus, pendekatan ini menyimpang dari Foucault karena mencantumkan konsep ideologi untuk melakukan teotetisasi terhadap penaklukan satu kelompok sosial agar patuh kepada kelompok-kelompok sosial yang lain. Focus penelitian analisis wacana kritis dengan demikian merupakan praktik kewacanaan yang mengonstruk representasi dunia, subjek sosial dan hubungan sosial termasuk hubungan kekuasaan dan peran yang dimainkan praktik-praktik kewacanaan itu guna melanjutkan kepentingan kelompok-kelompok sosial khusus. Fairclough mendefinisikan analisis wacana kritis sebagai pendekatan yang berusaha melakukan penyeledikan secara sistematis terhadap

Hubungan-hubungan kausalitas dan penentuan yang sering samar antara (a) praktik kewacanaan, peristiwa dan teks dan (b) struktur-struktur cultural dan sosial yang lebih luas, hubungan dan proses (…) bagaimana praktik, peristiwa dan teks muncul di luar dan secara ideologis dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan perjuangan atas kekuasaan (…) bagaimana kesamaran hubungan-hubungan antara wacana dan masyarakat itu sendiri merupakan faktor yang melanggengkan kekuasaan dan hegemoni. (Fairclough 1993:135; dicetak kembali dalam Fairclough 1995a:132f).


Analisis wacana kritis itu bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk hubungan-hubungan sosial yang

melibatkan hubungan kekuasaan yang tak sepadan. Oleh sebab itu, tujuannya adalah agar bisa memberi kontribusi kepada perubahan sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam proses komunikasi dan masyarakat secara umum.


5. Penelitian Kritis

Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral (sebagaimana ilmu sosial objektivis), namun sebagai pendekatan kritis yang secara politik ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Atas nama emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Pengkritik bertujuan menguak peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan kekuasaan yang tak setara dengan tujuan mempercepat hasil analsis wacana kritis untuk memperjuangkan tercapainya perubahan sosial yang radikal. Ketertarikan Fairclough terhadap “kritik eksplanatoris” dan “kesadaran bahasa kritis”, yang akan kita bahas kembali nanti, ditujukan untuk mencapai tujuan ini.


Perbedaan Antara Pendekatan-pendekatan yang Diuraikan di Atas

Meski ada lima ciri umum sebagaimana yang dikemukakan di atas, ada perbedaan-perbedaan mencolok antara pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis ditilik dari pemahaman teoretisnya tentang wacana, ideology dan perspektif historis serta juga metode yang digunakan untuk kajian empiris penggunaan bahasa dalam interaksi sosial dan efek ideologisnya. Misalnya, sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian pendekatan analisis wacana kritis tidak memiliki pemahaman yang sama dengan pemahaman Foucault tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif. Di antaranya adalah pendekatan sosiokognitif van Dijk yang juga menyimpang dari kebanyakan pendekatan lain karena memiliki pandangan yang sama dengan kognitivis.


Analisis Wacana Kritis Fairclough

Fairclough telah mengonstruk kerangka yang penting untuk menganalisis wacana sebagai praktik sosial yang akan kita uraikan secara terinci. Seperti yang kami lakukan ketika dalam menguraikan konsep Laclau dan Mouffe, di sini kami dihadapkan pada ledakan konsep, karena kerangka Fairclough berisi sederet konsep yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lain dalam model tiga dimensi yang kompleks. Selanjutnya, makna konsep-konsep tersebut agak beragam dalam karya Fairclough yang berbeda, kerangka yang senantiasa mengalami perkembangan. Pada kasus-kasus dimana perubahan-perubahan konseptual sangat penting bagi pemahaman kerangka yang dikemukakan Fairclough, kami akan memberikan pemahaman khusus pada perubahan-perubahan konseptual tersebut. Pada bagian bahasan pertama ini, kami menyajikan kerangka Fairclough melalui uraian konsep-konsep utama dan kemungkinan menjelaskan keterkaitannya satu sama lain. Uraian tersebut kemudian diikuti oleh salah satu contoh empiris Fairclough yang menggambarkan penerapan kerangka tersebut.

Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, perbedaan penting antara Fairclough (dan analisis wacana kritis secara umum) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif, namun juga tersusun. Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dubentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain. Oleh sebab itu, wacana memiliki hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Fairclough memahami struktur sosial sebagai hubungan sosial di masyarakat secara keseluruhan dan di lembaga-lembaga khusus dan yang terdiri atas unsur-unsur kewacanaan dan non kewacanaan (Fairclough 1992b:64). Praktik non kewacanaan primer misalnya adalah praktik fisik yang terlibat dalam pembangunan jembatan, sebaliknya praktik-praktik seperti jurnalisme dan hubungan masyarakat terutama bersifat kewacanaan (1992b:66f).

Sekaligus, Fairclough membuat jarak dengan strukturalisme dan lebih condong ke posisi yang lebih bersifat postrukturalis saat menyatakan bahwa praktik kewacanaan tidak hanya mereproduksi struktur kewacanaan yang telah ada tapi juga menantang struktur dengan menggunakan kata-kata untuk menggambarkan apa yang terdapat di luar struktur itu.

Akan tetapi, dia menyimpang cukup besar dari teori wacana postrukturalisn karena memusatkan perhatiannya pada upaya membangun suatu model teoretis dan piranti metodologis yang digunakan untuk penelitian empiris dalam interaksi sosial sehari-hari. Berlawanan dengan kecendurangan postrukturalis, dia menekankan pentingnya melakukan analisis sistematis bahasa tutur dan tulis misalnya pada media masa dan wawancara penelitian.

Pendekatan Fairclough merupakan bentuk wacana analisis yang berorientasi pada teks dan yang berusaha menyatukan tiga tradisi (Fairclough 1992b:72) yakni:

·Analisis tekstual yang terinci di bidang linguistik (termasuk tata bahasa fungsional Michael Halliday).

·Analisis makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi untuk menganalisis teks-teks khusus).

·Tradisi interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisis percakapan), dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan orang-orang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan kaidah “akal sehat”.

Fairclough menggunakan analasis teks yang terinci untuk memperoleh wawasan tentang bagaimana proses kewacanaan beroperasi secara linguistik dalam teks-teks khusus. Akan tetapi, dia mengkritik pendekatan liguistik yang hanya semata-mata memusatkan perhatian pada analisis tekstual dan menggunakan pemahaman simplisistis dan palsu tentang hubungan antara teks dan masyarakat. Bagi Fairclough, analisis teks itu sendiri tidaklah memadai bagi analisis wacana, dan juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara struktur dan proses cultural dan kemasyarakatan. Untuk itu diperlukan perspektif interdisipliner yang menggabungkan analisis tekstual dan sosial. Keuntungan yang bisa dipetik dari menggantungkan diri pada tradisi makrososiologis adalah bahwa tradisi ini menganggap praktik sosial itu dibentuk oleh struktur sosial dan hubungan kekuasaan dan masyarakat tidaklah sadar atas protes tersebut. Kontribusi tradisi interpretative adalah memberikan pemahaman tentang bagaimana masyarakat secara aktif menciptakan dunia yang terikat pada kaidah dalam praktik sehari-hari (Fairclough 1992b).


Model Tiga Dimensi Fairclough

Konsep-konsep utama

Fairclough menerapkan konsep wacana dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Pertama, dalam pengertian yang paling abstrak, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu bidang khusus, seperti wacana politik atau ilmiah. Ketiga,  dalam penggunaan yang paling konkret, wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang bisa dihitung (suatu wacana, wacana tertentu, wacana-wacana, wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara bertutur yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang dipetik dari perspektif tertentu. Pada pengertian terakhir ini, konsep tersebut mengacu pada wacana apapun yang bisa dibedakan dari wacana-wacana lain, misalnya wacana feminis, wacana neoliberal, wacana Marxist, wacana konsumen, atau wacana environmentalis. Fairclough membatasi istilah itu yakni wacana, pada sistem semiotik seperti bahasa dan pecitraan yang berlawanan dengan Laclau dan Mouffe yang memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana.

Wacana memberikan kontribusi pada pengonstruksian:

·identitas sosial;

·hubungan sosial; dan

·sistem pengetahuan dan makna.

Oleh karena itu, wacana mempunyai tiga fungsi: fungsi identitas, fungsi “hubungan” atau relasional dan fungsi “ideasional”.  Dalam analisis manapun, ada dua dimensi wacana yang sangat penting yakni:

·peristiwa komunikatif – misalnya penggunaan bahasa seperti artikel surat kabar, film, video, wawancara atau pidato politik (Fairclough 1995b) dan

·tatanan wacana – konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga atau bidang sosial. Jenis-jenis wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran).


Aliran adalah penggunaan khusus bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian praktik sosial tertentu, misalnya aliran wawancara, aliran berita, atau aliran iklan. Contoh tatanan wacana mencakup tatanan wacana media, pelayanan kesehatan, atau rumah sakit individu. Dalam tatanan wacana, ada praktik-praktik kewacanaan khusus tempat dihasilkan dan dikonsumsi atau diinterpretasikannya teks dan pembicaraan (Fairclough, 1998:145).

Setiap peristiwa penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri atas tiga dimensi:

·Teks (tuturan, pencitraan visual atau gabungan ketiganya);

·Praktik kewacanaan yang melibatkan pemproduksian dan pengonsumsian teks; dan

·Praktik sosial.

Adapun analisis peristiwa komunikatif meliputi:

· Analisis wacana dan aliran yang diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian teks (tingkat praktik kewacanaan);

· Analisis  struktur linguistik (tingkat teks); dan

·Pertimbangan mengenai apakah praktik kewacanaan mereproduksi, bukannya merestrukturisasi tatanan wacana yang ada dan mengenai apa konsekuensi yang timbul bagi praktik sosial yang lebih luas (tingkat praktik sosial).

Tujuan umum model tiga dimensi itu adalah memberikan kerangka analitis bagi analisis wacana. Model ini didasarkan pada dan menggunakan prinsip yang berbunyi bahwa teks tidak pernah bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah – hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial.

Tatanan Wacana dan Peristiwa Komunikatif

Fairclough memahami hubungan antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai hubungan yang bersifat dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem, namun bukan sistem dalam pengertian strukturalis. Yakni, peristiwa-peristiwa komunikatif tidak hanya mereproduksi tatanan wacana, tapi juga memperluasnya melalui penggunaan bahasa yang kreatif. Misalnya, ketika petugas humas di rumah sakit menggunakan wacana konsumen, dia mengandalkan suatu sistem – tatanan wacana – namun untuk itu dia juga ambil bagian dalam menyusun sistem tersebut.

Bagaimanakah hubungan antara tatanan wacana dan konteks sosialnya? Dalam karya awalnya, Fairclough cenderung menghubungkan tatanan wacana dengan lembaga-lembaga khusus, sekaligus menekankan bahwa wacana dan tatanan wacana bisa bekerja lintas batas kelembagaan. Dalam bukunya yang ditulis bersama Chouliaraki, konsep “tatanan wacana” dipasangkan dengan konsep “bidang”nya Pierre Bourdieu. Dengan kata lain, bagi Bourdieu, suatu bidang merupakan domain sosial yang relative otonom yang mematuhi logika sosial khusus. Para aktor dalam suatu bidang khusus, seperti bidang olahraga, politik atau media, berjuang mencapai tujuan yang sama, dan dengan demikian bidang-bidang itu berhubungan satu sama lain dengan cara yang saling bersaing dimana posisi aktor individu yang berada di bidang itu ditetapkan oleh jarak realtifnya dari tujuan itu.

Antartekstualitas dan Antarkewacanaan

Antarkewacanaan terjadi bila aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam suatu peristiwa komunikatif. Praktik kewacanaan kreatif tempat digabungkannya jenis-jenis wacana dengan cara yang baru dan kompleks – dalam “campuran antarkewacanaan” baru – merupakan suatu tanda dan daya dorong ke arah perubahan kewacanaan dan juga perubahan sosio-kultural. Di sisi-sisi lain, praktik-praktik kewacanaan tempat bercampurnya wacana dengan cara-cara konvensional merupakan indikasi dan bekerjanya stabilitas tatanan wacana yang dominan dan dengan demikian juga tatanan social yang dominan.

Antarkewacanaan merupakan bentuk antartekstualitas. Antartekstualitas mengacu pada kondisi tempat bergantungnya peristiwa komunikatif pada peristiwa-peristiwa terdahulu. Kita tidak bisa menghindarkan diri dari penggunaan kata-kata dan frase-frase yang sebelumnya telah digunakan oleh orang lain. Bentuk antartekstual yang terutama telah diucapkan sebelumnya adalah antartekstualitas yang menjelma (manifest antartekstualitas), sebaliknya teks secara jelas bergantung pada teks-teks lain, umpama saja dengan mengutipnya (Fairclough, 1992c:117).

Suatu teks bisa dipandang sebagai hubungan dalam rantai intertekstual (Fairclough, 1995b:77f). Serangkaian teks tempat masing-masing teks memasukkan unsure-unsur yang berasal dari teks atau teks-teks lain.


Aliran kritis mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang memperhatikan proses produksi dan reproduksi proposisi dari berbagai peristiwa komunikasi baik secara historis maupun secara institusi. Pandangan konstrutivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut pelaku-pelakunya. Aliran tersebut lebih mengutamakan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa ditafsirkan secara bebas sesuai pikirannya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa menurut aliran kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu, tema tertentu, dan strateginya. Oleh karena itu, analisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan yang diperkenankan menjadi wacana dan representasi yang terdapat dalam masyarakat.

KOTAK SARAN

Name

Email *

Message *