Analisis wacana kritis (sering
disingkat AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan
kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial
dan cultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Yang membingungkan, label
“analisis wacana kritis” digunakan dua cara yang berbeda: Norman Fairclough
(1995a,1995b) menggunakannya untuk menguraikan pendekatan yang telah dia
kembangkan dan sebagai label yang diberikan kepada gerakan lebih luas dalam
analisis wacana yang beberapa pendekatannya, termasuk pendekatan yang
dikemukakannya, merupakan bagian dari gerakan itu (Fairclough dan Wodak 1997).
Gerakan yang luas ini merupakan entitas yang agak longgar dan tidak ada
konsensus bersama mengenai milik siapa gerakan tersebut. Kendati pendekatan
Fairclough terdiri atas sederet premis filsafat, metode teoretis, dan
teknik-teknik khusus analisis linguistik, gerakan analisis wacana kritis
terdiri atas beberapa pendekatan yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Di bawah
ini kami kemukakan secara singkat beberapa unsur utama yang sama-sama dimiliki
semua pendekatan itu. Selanjutnya, kami sajikan pendekatan Fairclough, karena
menurut hemat kami dalam gerakan analisis wacana kritis, pendekatan itu
mewakili metode dan teori yang paling cepat perkembangannya di bidang
komunikasi, budaya, dan masyarakat.
Di antara pendekatan-pendekatan
yang berbeda dalam AWK, bisa diidentifikasi lima ciri umum. Ciri-ciri umum
itulah yang memungkinkan bisa digolongkannya pendekatan-pendekatan tersebut ke
dalam gerakan yang sama. Dalam uraian berikut kami kemukakan tinjauan
Fairclough dan Wodak (1997:271ff).
1. Sifat Struktur dan Proses Cultural
dan Sosial Merupakan Sebagian Linguistik-Kewacanaan
Praktik-praktik kewacanaan –
tempat dihasilkan (diciptakan) dan dikonsumsi (diterima dan
diinterpretasikannya) teks – dipandang sebagai penting praktik sosial yang
memberikan kontribusi bagi penyusunan dunia sosial yang mencakup
hubungan-hubungan dan identitas-identitas sosial. Sebagian terbentuk melalui
praktik-praktik kewacanaan dalam kehidupan sehari-hari (proses pemproduksian
dan pengonsumsian teks). Di situlah terjadi perubahan dan reproduksi cultural
dan sosial. Dengan demikian, sebagian fenomena kemasyarakatan tidaklah bersifat
linguistik-kewacanaan.
Tujuan analisis wacana kritis
adalah menjelaskan dimensi linguistik-kewacanaan fenomena sosial dan cultural
dan proses perubahan dalam modernitas terkini. Penelitian di bidang wacana
kritis telah mencakup bidang-bidang seperti analisis organisasi (mis. Mumby dan
Clair 1997), pedagogi (Chouliaraki 1998), rasisme dan komunikasi massa
(Richardson 1995a, 1995b, 1998, 2000).
Wacana memberikan tuntunan kepada
tidak hanya pada bahasa tulis dan bahasa tutur namun juga pencitraan visual.
Para ahli menerima pendapat bahwa analisis teks yang terdiri dari pencitraan
visual harus mempertimbangkan karakteristik khusus semiotik visual dan hubungna
antara bahasa dan pencitraan. Namun, dalam analisis wacana kritis (seperti
dalam analisis wacana secara umum) ada kecenderungan menganalisis gambar seolah
merupakan teks linguistik. Ada perkecualiannya yakni semiotik sosial (mis.
Hodge dan Kress 1998; Kress dan van Leeuwen 1996, 2001) yang merupakan usaha
untuk mengembangkan teori dan metode analisis teks multi modal – yakni teks
yang menggunakan sistem-sistem semiotik yang berbeda seperti bahasa tulis,
pencitraan visual dan/atau bunyi.
2. Wacana itu Tersusun dan
Bersifat Konstitutif
Bagi analisis wacana kritis,
wacana merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun
oleh praktik-praktik sosial lain. Sebagai praktik sosial, wacana berada dalam
hubungan dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Wacana tidak hanya
memberikan kontribusi pada pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial
namun merefleksikan pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial
tersebut. Ketika Fairclough menganalisis bagaimana praktik kewacanaan dalam
media ambil bagian dalam pembentukan bentuk-bentuk baru politik, dia juga
mempertimbangkan bahwa praktik-praktik kewacanaan dipengaruhi oleh kekuatan
kemasyarakatan yang tidak memiliki sifat kewacanaan tunggal (mis. struktur
sistem politik dan struktur kelembagaan media). Konsepsi “wacana” membedakan
pendekatan ini dengan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat
pos-strukturalis, seperti teori wacana Laclau dan Mouffe, bahasa sebagai wacana
merupakan bentuk tindakan (cf. Austin 19620 tempat yang digunakan orang-orang
untuk mengubah dunia dan bentuk tindakan yang didasarkan pada situasi soaial
dan historis dan memiliki hubungan dialektik dengan aspek-aspek lain dimensi
sosial.
Sebagai contoh, Fairclough
(1992b) menyatakan bagaimana struktur sosial memengaruhi praktik-praktik
kewacanaan. Hubungan antara orangtua dan anak sebagian tersusun secara
kewacanaan, demikian kata Fairclough, namun sekaligus, keluarga merupakan suatu
lembaga yang memiliki praktik-praktik konkret, identitas dan hubungan-hubungan
yang telah ada sebelumnya. Praktik, hubungan, dan identiras tersebut aslinya
tersusun secara kewacanaan, akan tetapi telah mengendap dalam lembaga-lembaga
dan praktik-praktik nonkewacanaan. Efek konstitutif wacana bekerja bersama
praktik-praktik lain seperti distribusi
tugas rumah tangga. Selanjutnya, struktur sosial memainkan peran mandiri dalam
upaya membentuk dan melingkupi praktik kewacanaan dalam keluarga:
Susunan kewacanaan masyarakat
tidak berasal dari permainan bebas ide-ide yang ada di benak orang-orang, melainkan
berasal dari praktik sosial yang berakar kuat dalam dan berorientasi pada
struktur sosial material yang rill (Fairclough 1992b:66)
Di sini Fairclough menyatakan
bahwa jika wacana hanya dipandang bersifat konstitutif, pernyataan ini selaaras
dengan pernyataan bahwa entitas sosial
hanya berasal dari dalam benak orang-orang. Namun sebagaimana yang kita lihat,
ada ketidaksepakatan di antara para teoretisi mengenai apakah pandangan wacana
itu sangat penting bagi bentuk idealism ini. Misalnya, Laclau dan Mouffe
menyanggah dengan keras bahwa menyalahkan idealism dengan dalih bahwa konsepsi
wacana sebagai sesuatu yang bersifat kontitutif tidaklah menyiratkan bahwa
objek fisik itu tidak ada, melainkan bahwa objek fisik itu mendapatkan makna
hanya melalui wacana.
3. Penggunaan Bahasa Hendaknya
Dianalisis Secara Empiris dalam Konteks Sosialnya
Analisis Laclau dan Mouffe
menggarap analisis tekstual linguistik yang konkret atas penggunaan bahasa
dalam interaksi sosial. Keadaan ini berbeda dengan teori wacana Laclau dan
Mouffe yang tidak melaksanakan kajian empiris dan sistematis penggunaan bahasa
dan berbeda dengan psikologi kewacanaan yang melakukan kajian retoris, namun
bukan kajian linguistik penggunaan bahasa.
4. Fungsi Wacana Secara Ideologis
Dalam analisis Laclau dan Mouffe,
dinyatakan bahwa praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan
pereproduksian hubungan kekuasaan yang tak setara antara kelompok-kelompok
sosial – misalnya , antara kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, kelompok
minoritas dan mayoritas etnis. Efek-efek tersebut dipahami sebagai efek
ideologis.
Berlawanan dengan teoretisi
wacana, termasuk Laclau dan Mouffe dan Foucault, analisis Laclau dan Mouffe
dalam hal ini tidak sepenuhnya menyimpang dari tradisi Marxist. Sebagian
pendekatan analisis wacana kritis menganggap pandangan kekuasaan Foucauldian
sebagai kekuatan yang mampu menciptakan subjek dengan agen – yakni, sebagai
kekuatan produktif – bukannya sebagai properti yang dimiliki oleh individu yang
dipaksakan kepada orang lain. Tapi sekaligus, pendekatan ini menyimpang dari
Foucault karena mencantumkan konsep ideologi untuk melakukan teotetisasi
terhadap penaklukan satu kelompok sosial agar patuh kepada kelompok-kelompok
sosial yang lain. Focus penelitian analisis wacana kritis dengan demikian
merupakan praktik kewacanaan yang mengonstruk representasi dunia, subjek sosial
dan hubungan sosial termasuk hubungan kekuasaan dan peran yang dimainkan
praktik-praktik kewacanaan itu guna melanjutkan kepentingan kelompok-kelompok
sosial khusus. Fairclough mendefinisikan analisis wacana kritis sebagai
pendekatan yang berusaha melakukan penyeledikan secara sistematis terhadap
Hubungan-hubungan kausalitas dan
penentuan yang sering samar antara (a) praktik kewacanaan, peristiwa dan teks
dan (b) struktur-struktur cultural dan sosial yang lebih luas, hubungan dan
proses (…) bagaimana praktik, peristiwa dan teks muncul di luar dan secara
ideologis dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan perjuangan atas kekuasaan (…)
bagaimana kesamaran hubungan-hubungan antara wacana dan masyarakat itu sendiri
merupakan faktor yang melanggengkan kekuasaan dan hegemoni. (Fairclough
1993:135; dicetak kembali dalam Fairclough 1995a:132f).
Analisis wacana kritis itu
bersifat “kritis” maksudnya adalah bahwa analisis ini bertujuan mengungkap
peran praktik kewacanaan dalam upaya melestarikan dunia sosial, termasuk
hubungan-hubungan sosial yang
melibatkan hubungan kekuasaan
yang tak sepadan. Oleh sebab itu, tujuannya adalah agar bisa memberi kontribusi
kepada perubahan sosial di sepanjang garis hubungan kekuasaan dalam proses
komunikasi dan masyarakat secara umum.
5. Penelitian Kritis
Oleh sebab itu, analisis wacana
kritis tidak bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral
(sebagaimana ilmu sosial objektivis), namun sebagai pendekatan kritis yang
secara politik ditujukan bagi timbulnya perubahan sosial. Atas nama emansipasi,
pendekatan analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang
tertindas. Pengkritik bertujuan menguak peran praktik kewacanaan dalam
melestarikan hubungan kekuasaan yang tak setara dengan tujuan mempercepat hasil
analsis wacana kritis untuk memperjuangkan tercapainya perubahan sosial yang
radikal. Ketertarikan Fairclough terhadap “kritik eksplanatoris” dan “kesadaran
bahasa kritis”, yang akan kita bahas kembali nanti, ditujukan untuk mencapai
tujuan ini.
Perbedaan Antara
Pendekatan-pendekatan yang Diuraikan di Atas
Meski ada lima ciri umum
sebagaimana yang dikemukakan di atas, ada perbedaan-perbedaan mencolok antara
pendekatan-pendekatan analisis wacana kritis ditilik dari pemahaman teoretisnya
tentang wacana, ideology dan perspektif historis serta juga metode yang
digunakan untuk kajian empiris penggunaan bahasa dalam interaksi sosial dan
efek ideologisnya. Misalnya, sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian
pendekatan analisis wacana kritis tidak memiliki pemahaman yang sama dengan
pemahaman Foucault tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif. Di
antaranya adalah pendekatan sosiokognitif van Dijk yang juga menyimpang dari
kebanyakan pendekatan lain karena memiliki pandangan yang sama dengan
kognitivis.
Analisis Wacana Kritis Fairclough
Fairclough telah mengonstruk
kerangka yang penting untuk menganalisis wacana sebagai praktik sosial yang
akan kita uraikan secara terinci. Seperti yang kami lakukan ketika dalam
menguraikan konsep Laclau dan Mouffe, di sini kami dihadapkan pada ledakan
konsep, karena kerangka Fairclough berisi sederet konsep yang berbeda yang
saling berkaitan satu sama lain dalam model tiga dimensi yang kompleks.
Selanjutnya, makna konsep-konsep tersebut agak beragam dalam karya Fairclough
yang berbeda, kerangka yang senantiasa mengalami perkembangan. Pada kasus-kasus
dimana perubahan-perubahan konseptual sangat penting bagi pemahaman kerangka
yang dikemukakan Fairclough, kami akan memberikan pemahaman khusus pada
perubahan-perubahan konseptual tersebut. Pada bagian bahasan pertama ini, kami
menyajikan kerangka Fairclough melalui uraian konsep-konsep utama dan
kemungkinan menjelaskan keterkaitannya satu sama lain. Uraian tersebut kemudian
diikuti oleh salah satu contoh empiris Fairclough yang menggambarkan penerapan
kerangka tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan
sebelumnya, perbedaan penting antara Fairclough (dan analisis wacana kritis secara
umum) dan teori wacana postrukturalis adalah bahwa pada analisis wacana kritis,
wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif, namun juga tersusun.
Pendekatan Fairclough intinya menyatakan bahwa wacana merupakan bentuk penting
praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas dan
hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dubentuk oleh
struktur dan praktik sosial yang lain. Oleh sebab itu, wacana memiliki hubungan
dialektik dengan dimensi-dimensi sosial yang lain. Fairclough memahami struktur
sosial sebagai hubungan sosial di masyarakat secara keseluruhan dan di
lembaga-lembaga khusus dan yang terdiri atas unsur-unsur kewacanaan dan non
kewacanaan (Fairclough 1992b:64). Praktik non kewacanaan primer misalnya adalah
praktik fisik yang terlibat dalam pembangunan jembatan, sebaliknya
praktik-praktik seperti jurnalisme dan hubungan masyarakat terutama bersifat
kewacanaan (1992b:66f).
Sekaligus, Fairclough membuat
jarak dengan strukturalisme dan lebih condong ke posisi yang lebih bersifat
postrukturalis saat menyatakan bahwa praktik kewacanaan tidak hanya
mereproduksi struktur kewacanaan yang telah ada tapi juga menantang struktur
dengan menggunakan kata-kata untuk menggambarkan apa yang terdapat di luar
struktur itu.
Akan tetapi, dia menyimpang cukup
besar dari teori wacana postrukturalisn karena memusatkan perhatiannya pada
upaya membangun suatu model teoretis dan piranti metodologis yang digunakan
untuk penelitian empiris dalam interaksi sosial sehari-hari. Berlawanan dengan
kecendurangan postrukturalis, dia menekankan pentingnya melakukan analisis
sistematis bahasa tutur dan tulis misalnya pada media masa dan wawancara
penelitian.
Pendekatan Fairclough merupakan
bentuk wacana analisis yang berorientasi pada teks dan yang berusaha menyatukan
tiga tradisi (Fairclough 1992b:72) yakni:
·Analisis tekstual yang terinci
di bidang linguistik (termasuk tata bahasa fungsional Michael Halliday).
·Analisis makro-sosiologis
praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak menyediakan metodologi
untuk menganalisis teks-teks khusus).
·Tradisi interpretatif dan
mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisis
percakapan), dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan
orang-orang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan kaidah “akal
sehat”.
Fairclough menggunakan analasis
teks yang terinci untuk memperoleh wawasan tentang bagaimana proses kewacanaan
beroperasi secara linguistik dalam teks-teks khusus. Akan tetapi, dia mengkritik
pendekatan liguistik yang hanya semata-mata memusatkan perhatian pada analisis
tekstual dan menggunakan pemahaman simplisistis dan palsu tentang hubungan
antara teks dan masyarakat. Bagi Fairclough, analisis teks itu sendiri tidaklah
memadai bagi analisis wacana, dan juga tidak bisa menjelaskan hubungan antara
struktur dan proses cultural dan kemasyarakatan. Untuk itu diperlukan
perspektif interdisipliner yang menggabungkan analisis tekstual dan sosial.
Keuntungan yang bisa dipetik dari menggantungkan diri pada tradisi
makrososiologis adalah bahwa tradisi ini menganggap praktik sosial itu dibentuk
oleh struktur sosial dan hubungan kekuasaan dan masyarakat tidaklah sadar atas
protes tersebut. Kontribusi tradisi interpretative adalah memberikan pemahaman
tentang bagaimana masyarakat secara aktif menciptakan dunia yang terikat pada
kaidah dalam praktik sehari-hari (Fairclough 1992b).
Model Tiga Dimensi Fairclough
Konsep-konsep utama
Fairclough menerapkan konsep
wacana dengan menggunakan tiga hal yang berbeda. Pertama, dalam pengertian yang
paling abstrak, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial.
Kedua, wacana dipahami sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam suatu bidang
khusus, seperti wacana politik atau ilmiah. Ketiga, dalam penggunaan yang paling konkret, wacana
digunakan sebagai suatu kata benda yang bisa dihitung (suatu wacana, wacana
tertentu, wacana-wacana, wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara
bertutur yang memberikan makna yang berasal dari pengalaman-pengalaman yang
dipetik dari perspektif tertentu. Pada pengertian terakhir ini, konsep tersebut
mengacu pada wacana apapun yang bisa dibedakan dari wacana-wacana lain,
misalnya wacana feminis, wacana neoliberal, wacana Marxist, wacana konsumen,
atau wacana environmentalis. Fairclough membatasi istilah itu yakni wacana,
pada sistem semiotik seperti bahasa dan pecitraan yang berlawanan dengan Laclau
dan Mouffe yang memperlakukan semua praktik sosial sebagai wacana.
Wacana memberikan kontribusi pada
pengonstruksian:
·identitas sosial;
·hubungan sosial; dan
·sistem pengetahuan dan makna.
Oleh karena itu, wacana mempunyai
tiga fungsi: fungsi identitas, fungsi “hubungan” atau relasional dan fungsi
“ideasional”. Dalam analisis manapun,
ada dua dimensi wacana yang sangat penting yakni:
·peristiwa komunikatif – misalnya
penggunaan bahasa seperti artikel surat kabar, film, video, wawancara atau
pidato politik (Fairclough 1995b) dan
·tatanan wacana – konfigurasi
semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga atau bidang sosial. Jenis-jenis
wacana terdiri atas wacana dan aliran (aliran).
Aliran adalah penggunaan khusus
bahasa yang berpartisipasi dalam dan menyusun bagian praktik sosial tertentu,
misalnya aliran wawancara, aliran berita, atau aliran iklan. Contoh tatanan wacana
mencakup tatanan wacana media, pelayanan kesehatan, atau rumah sakit individu.
Dalam tatanan wacana, ada praktik-praktik kewacanaan khusus tempat dihasilkan
dan dikonsumsi atau diinterpretasikannya teks dan pembicaraan (Fairclough,
1998:145).
Setiap peristiwa penggunaan
bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri atas tiga dimensi:
·Teks (tuturan, pencitraan visual
atau gabungan ketiganya);
·Praktik kewacanaan yang
melibatkan pemproduksian dan pengonsumsian teks; dan
·Praktik sosial.
Adapun analisis peristiwa
komunikatif meliputi:
· Analisis wacana dan aliran yang
diwujudkan dalam pemproduksian dan pengonsumsian teks (tingkat praktik
kewacanaan);
· Analisis struktur linguistik (tingkat teks); dan
·Pertimbangan mengenai apakah
praktik kewacanaan mereproduksi, bukannya merestrukturisasi tatanan wacana yang
ada dan mengenai apa konsekuensi yang timbul bagi praktik sosial yang lebih
luas (tingkat praktik sosial).
Tujuan umum model tiga dimensi
itu adalah memberikan kerangka analitis bagi analisis wacana. Model ini
didasarkan pada dan menggunakan prinsip yang berbunyi bahwa teks tidak pernah
bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah – hanya bisa dipahami dalam
kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial.
Tatanan Wacana dan Peristiwa
Komunikatif
Fairclough memahami hubungan
antara peristiwa komunikatif dan tatanan wacana sebagai hubungan yang bersifat
dialektikal. Tatanan wacana merupakan suatu sistem, namun bukan sistem dalam
pengertian strukturalis. Yakni, peristiwa-peristiwa komunikatif tidak hanya
mereproduksi tatanan wacana, tapi juga memperluasnya melalui penggunaan bahasa
yang kreatif. Misalnya, ketika petugas humas di rumah sakit menggunakan wacana
konsumen, dia mengandalkan suatu sistem – tatanan wacana – namun untuk itu dia
juga ambil bagian dalam menyusun sistem tersebut.
Bagaimanakah hubungan antara
tatanan wacana dan konteks sosialnya? Dalam karya awalnya, Fairclough cenderung
menghubungkan tatanan wacana dengan lembaga-lembaga khusus, sekaligus
menekankan bahwa wacana dan tatanan wacana bisa bekerja lintas batas
kelembagaan. Dalam bukunya yang ditulis bersama Chouliaraki, konsep “tatanan
wacana” dipasangkan dengan konsep “bidang”nya Pierre Bourdieu. Dengan kata
lain, bagi Bourdieu, suatu bidang merupakan domain sosial yang relative otonom
yang mematuhi logika sosial khusus. Para aktor dalam suatu bidang khusus,
seperti bidang olahraga, politik atau media, berjuang mencapai tujuan yang
sama, dan dengan demikian bidang-bidang itu berhubungan satu sama lain dengan
cara yang saling bersaing dimana posisi aktor individu yang berada di bidang
itu ditetapkan oleh jarak realtifnya dari tujuan itu.
Antartekstualitas dan
Antarkewacanaan
Antarkewacanaan terjadi bila
aliran dan wacana yang berbeda diartikulasikan bersama-sama dalam suatu
peristiwa komunikatif. Praktik kewacanaan kreatif tempat digabungkannya
jenis-jenis wacana dengan cara yang baru dan kompleks – dalam “campuran
antarkewacanaan” baru – merupakan suatu tanda dan daya dorong ke arah perubahan
kewacanaan dan juga perubahan sosio-kultural. Di sisi-sisi lain,
praktik-praktik kewacanaan tempat bercampurnya wacana dengan cara-cara
konvensional merupakan indikasi dan bekerjanya stabilitas tatanan wacana yang
dominan dan dengan demikian juga tatanan social yang dominan.
Antarkewacanaan merupakan bentuk
antartekstualitas. Antartekstualitas mengacu pada kondisi tempat bergantungnya
peristiwa komunikatif pada peristiwa-peristiwa terdahulu. Kita tidak bisa
menghindarkan diri dari penggunaan kata-kata dan frase-frase yang sebelumnya
telah digunakan oleh orang lain. Bentuk antartekstual yang terutama telah
diucapkan sebelumnya adalah antartekstualitas yang menjelma (manifest
antartekstualitas), sebaliknya teks secara jelas bergantung pada teks-teks lain,
umpama saja dengan mengutipnya (Fairclough, 1992c:117).
Suatu teks bisa dipandang sebagai
hubungan dalam rantai intertekstual (Fairclough, 1995b:77f). Serangkaian teks
tempat masing-masing teks memasukkan unsure-unsur yang berasal dari teks atau
teks-teks lain.
Aliran kritis mengoreksi
pandangan konstruktivisme yang kurang memperhatikan proses produksi dan
reproduksi proposisi dari berbagai peristiwa komunikasi baik secara historis
maupun secara institusi. Pandangan konstrutivisme belum menganalisis faktor-faktor
hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya
berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut pelaku-pelakunya.
Aliran tersebut lebih mengutamakan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada
proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek
yang netral yang bisa ditafsirkan secara bebas sesuai pikirannya. Hal tersebut
sangat dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa
menurut aliran kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk
subjek tertentu, tema tertentu, dan strateginya. Oleh karena itu, analisis
wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan
yang diperkenankan menjadi wacana dan representasi yang terdapat dalam
masyarakat.