SELAMAT DATANG! SEMOGA PERSEMBAHAN KAMI DALAM BLOG INI BERMANFAAT! JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR PADA TULISAN KAMI! TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG!

Tuesday, September 19, 2017

ANALASIS SEMIOTIKA DALAM PUISI



A.   Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra yang berbeda bentuknya dengan prosa dan drama. Berikut ini dipaparkan batasan puisi yang diutarakan beberapa ahli:
1.    Aminuddin (1995: 134) memberikan batasan puisi berdasarkan istilah. Ia menyatakan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani poima ’membuat’ atau posisi ’pembuatan’  dan dalam bahasa Inggris disebut poem atau poetry.  Puisi pada dasarnya seorang telah  menciptakan satu dunia tersendiri yang mungkin berisi pesan atau gambaran seseorang telah menciptakan suasana tertentu baik fisik maupun batiniah.
2.    Matthew dalam Elliot (11:2) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk aktivitas intelektual yang tinggi.
3.    Ralp Waldo Emerson (dalam Situmarong, 1983: 8) mengatakan bahwa pusis mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sedikit mungkin. Selain rumusan itu, dia juga mengatakan bahwa puisi menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan serta sebab musabab yang menyebabkannya.
4.    Lescelles Abercrombie (dalam Situmarong, 1983: 9)menyatakan bahwa puisi sebagai ekspresi dari pengalaman imajinatif yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pusis adalah susut ekspresi jiwa dari seorang penyair untuk menampilkan pengalaman hidup yang melibatkan imajinasi yang tinggi dengan menggunakan media bahasa yang padat.

B.   Pengertian Semiotik (Semiotics)
Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger, dkk, 1974:1980).
Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian, nama itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Prancis dipergunkan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik.
C.   Tanda: Penanda dan Petanda
Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentukformalnya yang menandai suatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah suatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata ‘ibu’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti: ‘orang yang melahirkan kita’.
Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (pertanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya.
Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungan bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. ‘ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi  masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Prancis menyebutnya la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan, dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya, dalam penokohan, seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (Tono dalam Belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia dokter. Misalnya Tono, ia selalu mempergunakan istilah-istilah kedokteran, alat-alat kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.
D.   Metode Semiotik dalam Penelitian Sastra
Dikemukakan  Preminger dkk (1974:981) bahwa penerangan semiotik itu memang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa:sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis.
Peneliti harus menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan oleh sistem tersebut; peneliti harus menentukan kontras-kontras di antara satuan-satuan yang menghasilkan arti (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan kombinasi yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama sebagai pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintakmatik). Dikatakan selanjutnya oleh Premiger bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menenukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada jenis-jenis sastra (genre) dan ragam-ragam; jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen, novel, dan roman (ragam utama). Genre puisi mempunyai ragam : puisi lirik, syair, pantun soneta, balada, dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra, peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna.
Sebagai contohnya, genre puisi merupakan sistem tanda, yang mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan, di antaranya: personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi(dalam) sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas (makna ganda), kontra indikasi, dan nounse. Ada pula konvensi visual berhubung karya sastra (puisi)juga ditulis, konvensi visual tersebut di antaranya: bait, baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homologue. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mempunyai atau menciptakan makna. Tentu saja, masih ada konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya sastra mempunyai makna.
Cerpen pun mempunyai konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi, misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat naratifnya, misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view); di samping itu, juga mempunyai konvensi kebahasan yang berupa gaya bahasa. Elemen-elemen cerpen itu merupakan satuan-satuan yang harus dianalisis dan disendiri-sendirikan (dalam arti diekplisitkan).
Arti atau makna satuan itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada umumnya ataupun konvensi-konvensi tanda-tanda sastra. Seperti telah diterangkan, tanda-tanda itu mempunyai arti atau makna disebabkan oleh konvensi-konvensi. Konvensi itu merupakan perjanjan tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun, bahkan kemudian sudah menjadi hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut. Tanpa demikian, karya sastra tidak akan dapat “direbut” (direkuperasi) maknanya secara optimal. (Dapat juga diganti “diberi makna”, bukan “direbut”, tergantung sudut pandang atau orientasinya).
Di samping metode yang telah terurai, ada metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara semiotik: pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif yang akan diuraikan kemudian.
Untuk lebih mudah penelitian (atau pendekatan) semiotik yang berikut dibicarakan konvensi yang penting dalam karya sastra, yaitu konvensi ketaklangsungan ekspresi sastra dan konvensi hubungan antarteks.
E.    Pembacaan Semiotik : Heuristik dan Hermeneutik atau Retroaktif
Untuk dapat memberikan makna sejak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5-6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya.
Pembacaan heuristik pada sajak dan cerkan pastilah sedikit berbeda meskipun pada prinsipnya sama. Hal ini disebabkan cerkan bahasanya tidak begitu menyimpang dari tata bahasa baku. Pembacaan heuristik cerkan adalah pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Cerita yang beralur sorot balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik itu adalah penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan. Begitu juga, analisis bentuk formalnya merupakan pembacaan heuristik.
Untuk contoh pembacaan heuristik dan hermeneutik itu di sini diambil sajak Subagyo Sastrowardojo berikut ini.
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil

Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri

Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.
                                                            (Simphoni, 1975: 9)
F.    Pembacaaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu disimpan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik “Dewa Telah Mati” itu sebagai berikut.
           
            Bait ke-1
Di rawa ini tak ada dewa. (Yang ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok) pada malam hari, dan di waktu siang hari (gagak itu) terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh (di) dekat kuil.

Bait ke-2
Di tepi-tepi ini (di rawa-rawa ini) dewa telah mati. (Yang ada) hanya ular yang mendesir (menjalar dengan berisik) dekat sumber (sumber ait, kolam, atau danau). Lalu (ular itu) minum (air sumber itu) dari mulut pelacur (dengan mulut pelacur) yang tersenyum dengan bayangan sendiri (tersenyum melihat bayangannya sendiri yang cantik).

Bait ke-3
(Begitulah pada hakikatnya; sesungguhnya) bumi ini adalah perempuan jalang (pelacur, perempuan nakal) yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini; dan membunuhnya di pagi hari.
Tentu saja pembacaan heuristik ini belum memberikan makna sajak yang sebenarnya. Pembacaan ini terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama, yaitu konvensi bahasanya.



G.   Pembacaan Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan heuristik harus di ulang kembali dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi) sajak, seperti telah dibicarakan di muka. Pembacaan hermeneutik itu sebagai berikut.
“Dewa Telah Mati” mengiaskan bahwa dewa atau secara ‘luasnya Tuhan telah “mati”, berarti tuhan tidak dipercaya lagi oleh orang-orang (manusia). Secara keseluruhan bacaan (tafsiran) sajak tersebut sebagai berikut:

Bait ke-1
Di tempat-tempat yang penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercayai lagi oleh orang-orang (manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya orang-orang jahat (koruptor, perampok, dan sebagainya). Orang-orang jahat (gagak) tersebut melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di masa kacau, masa gelap (malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu) beramai-ramai mengelilingi harta yang haram (bangkai) milik orang-orang suci (pertapa, para pemeluk agama) yang ingkar (pada hakikatnya sudah mati). Mereka terbunuh (oleh kejahatan) dekat tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja, masjid, dll).

Bait ke-2
Tuhan telah tidak dipercaya lagi atau orang-orang telah ingkar kepada Tuhan di tempat-tempat pinggir (tempat yang tidak benar), tempat yang penuh kemesuman, kemaksiatan, atau kejahatan. Oleh karena itu, yang ada (pada hakikatnya) hanya orang-orang jahat (ular) yang berbuat jahat, melakukan makar di tempat-tempat kekayaan, keberuntungan (mendesir dekat sumber). Para penjilat itu (ular itu) lalu memuaskan nafsunya (minum) dari mulut para pelacur atau dengan mulut pelacur (orang-orang yang melacurkan diri, menjual harga dirinya). Artinya, orang-orang tersebut mendapat kekayaan, kesenangan, kebahagiaan, pangkat, atau kekuasaan dari “melacurkan diri”: menjilat atasannya atau para penguasa demi keuntungan dirinya, tak peduli halal atau haram. Mereka tidak peduli kehinaan, bahkan masih dapat tersenyum (berbangga diri) melihat bayangannya di depan cermin (rupanya yang tampak “indah” di kaca). Mereka masih mengagumi kehebatannya, kekayaannya yang sebelumnya hanya palsu (hanya bayangan).

Bait ke-3
Berdasarkan pada baik ke-1 dan ke-2, yaitu di tempat ini, di negeri ini, dipenuhi oleh orang jahat yang hanya mementingkan kehidupan dunia yang maya yang didapat dari hasil kejahatan, perbuatan hina, maka pada hakikatnya dunia dan kehidupan ini tampak seperti yang tergambar dalam bait ke-3 sebagai berikut.
Pada hakikatnya dunia dan kehidupan ini (bumi ini) adalah perempuan jalang (pelacur yang menjual keindahan dan kenikmatan tubuhnya) yang menawarkan kenikmatan dunia yang fana kepada orang-orang yang hanya memuaskan hawa nafsu keduniawian saja, bahkan orang suci (pertapa) pun menjadi munafik. Kehidupan yang haram itu menjerumuskan mereka itu ke tempat-tempat penuh kejahatan, kemaksiatan dan kemesuman. Oleh karena itu, membunuh mereka yang hanya terpikat kepada keduniawian yang fana yang penuh “penyakit “ pada waktu mulai timbulnya harapan kehidupan yang baik (pagi hari).

Tentu saja, masih ada cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra secara semiotik. Akan tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode utama dalam penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.
Comments
0 Comments

No comments:

KOTAK SARAN

Name

Email *

Message *