A.
Pengertian Puisi
Puisi merupakan salah
satu jenis karya sastra yang berbeda bentuknya dengan prosa dan drama. Berikut
ini dipaparkan batasan puisi yang diutarakan beberapa ahli:
1.
Aminuddin (1995:
134) memberikan batasan puisi berdasarkan istilah. Ia menyatakan bahwa puisi
berasal dari bahasa Yunani poima ’membuat’
atau posisi ’pembuatan’ dan dalam bahasa
Inggris disebut poem atau poetry. Puisi pada dasarnya seorang telah menciptakan satu dunia tersendiri yang
mungkin berisi pesan atau gambaran seseorang telah menciptakan suasana tertentu
baik fisik maupun batiniah.
2.
Matthew dalam
Elliot (11:2) menyatakan bahwa puisi adalah bentuk aktivitas intelektual yang
tinggi.
3.
Ralp Waldo Emerson
(dalam Situmarong, 1983: 8) mengatakan bahwa pusis mengajarkan sebanyak mungkin
dengan kata-kata sedikit mungkin. Selain rumusan itu, dia juga mengatakan bahwa
puisi menggerakkan tubuh yang kasar dan mencari kehidupan serta sebab musabab
yang menyebabkannya.
4.
Lescelles
Abercrombie (dalam Situmarong, 1983: 9)menyatakan bahwa puisi sebagai ekspresi
dari pengalaman imajinatif yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau
pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang
mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Berdasarkan beberapa
definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pusis adalah susut
ekspresi jiwa dari seorang penyair untuk menampilkan pengalaman hidup yang
melibatkan imajinasi yang tinggi dengan menggunakan media bahasa yang padat.
B. Pengertian Semiotik
(Semiotics)
Semiotik (semiotika)
adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian
semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang
bergantung pada (ditentukan) konvensi-konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri
(sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai
makna (Preminger, dkk, 1974:1980).
Tokoh yang dianggap
pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja secara
terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang
seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang
ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu
itu dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian, nama itu sering
dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Prancis dipergunkan
nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama
semiotik.
C. Tanda: Penanda dan
Petanda
Semiotik adalah ilmu
tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified).
Penanda adalah bentukformalnya yang menandai suatu yang disebut petanda,
sedangkan petanda adalah suatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.
Contohnya kata ‘ibu’ merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti:
‘orang yang melahirkan kita’.
Tanda itu tidak hanya
satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan
petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda yang
menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan
petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda
sebagai penanda yang menandai kuda (pertanda) sebagai artinya. Potret menandai
orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang
menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya,
misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan
sebagainya.
Simbol adalah tanda yang
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya,
hubungan bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh
konvensi. ‘ibu’ adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris
menyebutnya mother, Prancis
menyebutnya la mere, dan sebagainya. Adanya bermacam-macam tanda
untuk satu arti itu menunjukkan “kesemena-menaan” tersebut. Dalam bahasa, tanda
yang paling banyak digunakan adalah simbol.
Perlu diperhatikan,
dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah
yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan
hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Misalnya, dalam penokohan,
seorang tokoh tertentu, misalnya dokter (Tono dalam Belenggu) dicari tanda-tanda yang memberikan indeks bahwa ia
dokter. Misalnya Tono, ia selalu mempergunakan istilah-istilah kedokteran,
alat-alat kedokteran, mobil bertanda simbol dokter, dan sebagainya.
D. Metode Semiotik
dalam Penelitian Sastra
Dikemukakan Preminger dkk (1974:981) bahwa penerangan
semiotik itu memang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu langue (bahasa:sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya”
harus dianalisis.
Peneliti harus
menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan oleh sistem tersebut;
peneliti harus menentukan kontras-kontras di antara satuan-satuan yang
menghasilkan arti (hubungan-hubungan paradigmatik) dan aturan-aturan kombinasi
yang memungkinkan satuan-satuan itu untuk dikelompokkan bersama-sama sebagai
pembentuk-pembentuk struktur yang lebih luas (hubungan-hubungan sintakmatik).
Dikatakan selanjutnya oleh Premiger bahwa studi semiotik sastra adalah usaha
untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena itu, peneliti harus
menenukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Karya sastra merupakan
sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam sastra ada
jenis-jenis sastra (genre) dan
ragam-ragam; jenis sastra prosa dan puisi, prosa mempunyai ragam: cerpen,
novel, dan roman (ragam utama). Genre puisi mempunyai ragam : puisi lirik,
syair, pantun soneta, balada, dan sebagainya. Tiap ragam itu merupakan sistem
yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Dalam menganalisis karya sastra,
peneliti harus menganalisis sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi
apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda dalam ragam sastra
itu mempunyai makna.
Sebagai contohnya, genre puisi merupakan sistem tanda, yang
mempunyai satuan-satuan tanda (yang minimal) seperti kosa kata, bahasa kiasan,
di antaranya: personifikasi, simile, metafora, dan metonimi. Tanda-tanda itu
mempunyai makna berdasarkan konvensi-konvensi(dalam) sastra. Di antara
konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan: bahasa kiasan, sarana
retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas
(makna ganda), kontra indikasi, dan nounse. Ada pula konvensi visual berhubung
karya sastra (puisi)juga ditulis, konvensi visual tersebut di antaranya: bait,
baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homologue. Konvensi
kepuitisan visual sajak tersebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi
dalam sastra mempunyai atau menciptakan makna. Tentu saja, masih ada
konvensi-konvensi lain yang menyebabkan karya sastra mempunyai makna.
Cerpen pun mempunyai
konvensi-konvensi sendiri yang lain dari konvensi puisi, misalnya konvensi yang
berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat naratifnya, misalnya plot,
penokohan, latar atau setting, dan pusat pengisahan (point of view); di samping
itu, juga mempunyai konvensi kebahasan yang berupa gaya bahasa. Elemen-elemen
cerpen itu merupakan satuan-satuan yang harus dianalisis dan
disendiri-sendirikan (dalam arti diekplisitkan).
Arti atau makna satuan
itu tidak lepas dari konvensi-konvensi sastra pada umumnya ataupun konvensi-konvensi
tanda-tanda sastra. Seperti telah diterangkan, tanda-tanda itu mempunyai arti
atau makna disebabkan oleh konvensi-konvensi. Konvensi itu merupakan perjanjan
tersebut adalah perjanjian tak tertulis, disampaikan secara turun-temurun,
bahkan kemudian sudah menjadi hakikat sastra dan konvensi-konvensi tersebut.
Tanpa demikian, karya sastra tidak akan dapat “direbut” (direkuperasi) maknanya
secara optimal. (Dapat juga diganti “diberi makna”, bukan “direbut”, tergantung
sudut pandang atau orientasinya).
Di samping metode yang
telah terurai, ada metode yang lebih khusus untuk meneliti karya sastra secara
semiotik: pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif yang
akan diuraikan kemudian.
Untuk lebih mudah
penelitian (atau pendekatan) semiotik yang berikut dibicarakan konvensi yang
penting dalam karya sastra, yaitu konvensi ketaklangsungan ekspresi sastra dan
konvensi hubungan antarteks.
E. Pembacaan Semiotik
: Heuristik dan Hermeneutik atau Retroaktif
Untuk dapat memberikan
makna sejak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif
(Riffaterre, 1978:5-6). Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan
struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem
semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaaan karya sastra
berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan
heuristik dengan memberi konvensi sastranya.
Pembacaan heuristik pada
sajak dan cerkan pastilah sedikit berbeda meskipun pada prinsipnya sama. Hal
ini disebabkan cerkan bahasanya tidak begitu menyimpang dari tata bahasa baku.
Pembacaan heuristik cerkan adalah pembacaan “tata bahasa” ceritanya, yaitu
pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan. Untuk mempermudah
pembacaan ini dapat berupa pembuatan sinopsis cerita. Cerita yang beralur sorot
balik (dapat) dibaca secara alur lurus. Pembacaan heuristik itu adalah
penerangan kepada bagian-bagian cerita secara berurutan. Begitu juga, analisis
bentuk formalnya merupakan pembacaan heuristik.
Untuk contoh pembacaan
heuristik dan hermeneutik itu di sini diambil sajak Subagyo Sastrowardojo
berikut ini.
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.
(Simphoni,
1975: 9)
F. Pembacaaan
Heuristik
Dalam pembacaan
heuristik ini, sajak dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk
memperjelas arti bilamana perlu disimpan kata atau sinonim kata-katanya ditaruh
dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat
baku (berdasarkan tata bahasa normatif); bilamana perlu susunannya dibalik
untuk memperjelas arti. Pembacaan heuristik “Dewa Telah Mati” itu sebagai
berikut.
Bait ke-1
Di rawa ini tak ada
dewa. (Yang ada) hanya gagak yang mengakak (bergaok-gaok) pada malam hari, dan
di waktu siang hari (gagak itu) terbang mengitari bangkai pertapa yang terbunuh
(di) dekat kuil.
Bait
ke-2
Di tepi-tepi ini (di
rawa-rawa ini) dewa telah mati. (Yang ada) hanya ular yang mendesir (menjalar
dengan berisik) dekat sumber (sumber ait, kolam, atau danau). Lalu (ular itu) minum
(air sumber itu) dari mulut pelacur (dengan mulut pelacur) yang tersenyum
dengan bayangan sendiri (tersenyum melihat bayangannya sendiri yang cantik).
Bait
ke-3
(Begitulah pada
hakikatnya; sesungguhnya) bumi ini adalah perempuan jalang (pelacur, perempuan
nakal) yang menarik laki-laki jantan dan pertapa ke rawa-rawa mesum ini; dan
membunuhnya di pagi hari.
Tentu saja pembacaan
heuristik ini belum memberikan makna sajak yang sebenarnya. Pembacaan ini
terbatas pada pemahaman terhadap arti bahasa sebagai sistem semiotik tingkat
pertama, yaitu konvensi bahasanya.
G. Pembacaan
Retroaktif atau Hermeneutik
Pembacaan heuristik
harus di ulang kembali dengan bacaan retroaktif
dan ditafsirkan secara hermeneutik
berdasarkan konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat kedua.
Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan
ucapan (ekspresi) sajak, seperti telah dibicarakan di muka. Pembacaan
hermeneutik itu sebagai berikut.
“Dewa Telah Mati”
mengiaskan bahwa dewa atau secara ‘luasnya Tuhan telah “mati”, berarti tuhan
tidak dipercaya lagi oleh orang-orang (manusia). Secara keseluruhan bacaan
(tafsiran) sajak tersebut sebagai berikut:
Bait
ke-1
Di tempat-tempat yang
penuh kemaksiatan (rawa-rawa ini) Tuhan tidak dipercayai lagi oleh orang-orang
(manusia). Di tempat yang penuh kemaksiatan ini hanya orang-orang jahat
(koruptor, perampok, dan sebagainya). Orang-orang jahat (gagak) tersebut
melakukan kejahatan atau bersimarajalela (mengakak) di masa kacau, masa gelap
(malam hari). Mereka (orang-orang jahat itu) beramai-ramai mengelilingi harta
yang haram (bangkai) milik orang-orang suci (pertapa, para pemeluk agama) yang
ingkar (pada hakikatnya sudah mati). Mereka terbunuh (oleh kejahatan) dekat
tempat sucinya, tempat peribadatannya (kuil, gereja, masjid, dll).
Bait
ke-2
Tuhan telah tidak
dipercaya lagi atau orang-orang telah ingkar kepada Tuhan di tempat-tempat
pinggir (tempat yang tidak benar), tempat yang penuh kemesuman, kemaksiatan,
atau kejahatan. Oleh karena itu, yang ada (pada hakikatnya) hanya orang-orang
jahat (ular) yang berbuat jahat, melakukan makar di tempat-tempat kekayaan,
keberuntungan (mendesir dekat sumber). Para penjilat itu (ular itu) lalu
memuaskan nafsunya (minum) dari mulut para pelacur atau dengan mulut pelacur
(orang-orang yang melacurkan diri, menjual harga dirinya). Artinya, orang-orang
tersebut mendapat kekayaan, kesenangan, kebahagiaan, pangkat, atau kekuasaan
dari “melacurkan diri”: menjilat atasannya atau para penguasa demi keuntungan
dirinya, tak peduli halal atau haram. Mereka tidak peduli kehinaan, bahkan
masih dapat tersenyum (berbangga diri) melihat bayangannya di depan cermin
(rupanya yang tampak “indah” di kaca). Mereka masih mengagumi kehebatannya,
kekayaannya yang sebelumnya hanya palsu (hanya bayangan).
Bait
ke-3
Berdasarkan pada baik
ke-1 dan ke-2, yaitu di tempat ini, di negeri ini, dipenuhi oleh orang jahat
yang hanya mementingkan kehidupan dunia yang maya yang didapat dari hasil
kejahatan, perbuatan hina, maka pada hakikatnya dunia dan kehidupan ini tampak
seperti yang tergambar dalam bait ke-3 sebagai berikut.
Pada hakikatnya dunia
dan kehidupan ini (bumi ini) adalah perempuan jalang (pelacur yang menjual
keindahan dan kenikmatan tubuhnya) yang menawarkan kenikmatan dunia yang fana
kepada orang-orang yang hanya memuaskan hawa nafsu keduniawian saja, bahkan
orang suci (pertapa) pun menjadi munafik. Kehidupan yang haram itu
menjerumuskan mereka itu ke tempat-tempat penuh kejahatan, kemaksiatan dan
kemesuman. Oleh karena itu, membunuh mereka yang hanya terpikat kepada
keduniawian yang fana yang penuh “penyakit “ pada waktu mulai timbulnya harapan
kehidupan yang baik (pagi hari).
Tentu saja, masih ada
cara-cara lain untuk mendekati atau meneliti karya sastra secara semiotik. Akan
tetapi, apa yang telah terurai adalah cara-cara atau metode utama dalam
penelitian sastra dengan teori dan metode semiotik.