(Suatu Refleksi Jati Diri dan Spiritualitas Profesi Guru)
Kita,
para guru, terbiasa mencurahkan tenaga, waktu, dan pikiran demi peserta didik.
Seolah seluruh keberadaan kita ditujukan untuk mereka. Namun dalam derasnya
arus tugas harian, rencana pembelajaran, penilaian, komunikasi dengan orang tua
murid terkadang kita lupa bahwa mengajar yang bermakna selalu berakar dari
belajar yang terus-menerus. Kita bisa saja hadir secara fisik di kelas,
tetapi kehadiran sejati menuntut lebih: kejelasan pemahaman, ketajaman
berpikir, dan kesegaran ide. Semua itu tidak datang begitu saja. Ia lahir dari
waktu yang kita luangkan untuk membaca ulang, merenung kembali, dan memperkaya
diri.
Sebab
pada hakikatnya, mengajar bukanlah sekadar menyampaikan ulang isi buku ajar.
Mengajar adalah tentang mentransformasi pengetahuan menjadi pengalaman yang
menggerakkan hati dan pikiran murid. Karena itu, guru perlu terlebih dahulu
mengalami proses belajar itu sendiri. Seorang guru yang belajar tidak hanya
menyampaikan materi, tetapi menyampaikan makna. Ia tidak hanya menjelaskan,
tetapi juga menginspirasi. Maka bila suatu waktu kita merasa pembelajaran di
kelas terasa hambar, mungkin bukan murid yang kehilangan semangat barangkali
kitalah yang perlu kembali duduk sebagai murid, menyerap kembali semangat yang
pernah menyala saat pertama kali memilih jalan mulia ini.
Belajar
sebelum mengajar bukanlah beban tambahan, melainkan napas kehidupan profesi
kita. Guru bukan menara gading, melainkan jembatan penghubung dan jembatan yang
kuat adalah yang setiap hari diperiksa, diperbaiki, dan diperkokoh. Kita perlu
membuka diri pada wawasan baru, pada pendekatan yang lebih relevan, dan pada
suara perubahan zaman. Dalam proses itu, kita tidak hanya memperbarui strategi
mengajar, tetapi juga menghidupkan kembali makna menjadi pendidik. Komunitas
belajar guru, diskusi antarrekan, membaca buku yang memantik, atau sekadar
bertanya pada diri sendiri apa yang bisa kutingkatkan hari ini? adalah
bentuk kejujuran intelektual yang akan menjadikan kita lebih tajam dan lebih
bijak.
Menjadi guru yang utuh bukan berarti menjadi guru yang tidak pernah salah. Menjadi guru yang utuh berarti berani mengakui bahwa untuk mendampingi murid tumbuh, kita pun harus bertumbuh terlebih dahulu. Murid tidak hanya membutuhkan penjelasan, tetapi juga keteladanan dalam semangat belajar. Ketika mereka melihat gurunya terus belajar, mereka tahu bahwa belajar adalah perjalanan yang tak mengenal titik henti. Maka saat kita meluangkan waktu untuk memperdalam kompetensi, memperbaiki pemahaman, dan memperkaya perspektif, kita sedang menyalakan pelita bukan hanya untuk mereka, tetapi juga untuk diri kita sendiri.
Karena pada akhirnya, guru yang paling bermakna bukanlah ia yang paling fasih dalam menjelaskan teori, atau paling mahir dalam teknologi. Guru yang paling bermakna adalah ia yang mampu menyentuh hati muridnya karena ia terlebih dahulu menyentuh dan membentuk dirinya sendiri. Yang hadir di kelas dengan semangat yang segar karena malam sebelumnya ia memilih membaca daripada mengeluh. Yang kata-katanya membangkitkan percaya diri karena ia sendiri percaya pada kekuatan belajar. Dan yang hidupnya menjadi teladan bahwa menjadi guru adalah jalan panjang yang harus dilalui dengan kerendahan hati untuk terus belajar. Mari menjadi guru yang demikian. Mari menjadi guru yang belajar sebelum mengajar dalam kehadiran, dalam cinta, dan dalam makna.